Jakarta vs Bandung dalam semarak KAAPeringatan KAA ke 60, lebih banyak dilakukan di ibukota dibanding di Bandung, yang resminya hanya kebagian hari terakhir (24 April). Tapi soal semarak, mohon maaf ye abang-abang dan none-none. Ga jelas tuh apa yang dikerjakan ketua panitia (bos Luhut) dan komandan ibu kota (Koh Ahok) untuk keseruan di Jakarta.
Momen sekali dalam sepuluh tahun (peringatan besarnya ga tiap tahun, Gan), di Jakarta hanya dipenuhi spanduk. Kalau kayak gitu, mahasiswa juga bisa pasang spanduk. Tanggal 20-23, kebetulan saya mondar dan mandir di Jakarta. Tidak ada rakyat tumpah ruah dalam sebuah perayaan besar, dimana menjadi pesta semua rakyat. Alasannya paling2x yg di JKT acaranya memang formal. Bukan berarti rakyat tidak boleh ikut kan? Pemerintah/Warga Jakarta mah kurang asyik, terlalu politis dan tidak
ngesosial. Stadion GBK tumpah ruah kalau ga main bola, ya orasi politik, atau kampanye bertajuk konser apalah itu.
Bandung mempercantik diri, Jakarta sibuk menyepikan diri. Rakyat Bandung berpesta dan bernostalgia untuk pertistiwa historis, Jakarta 'hanya' menjadi persinggahan sebuah kumpul2x politik kepala negara.
Untuk keren-nya Bandung dalam menyambut KAA, apresiasi terbesar tentu untuk Presiden Bandung, sekaligus penggagas Smart City Initiative dan network di kawasan Asia-Afrika. Kalau selama ini Kang Emil sudah menjadi ketua asosiasi walikota/bupati (setelah Bu Airin cantik mundur dgn adanya kasus korupsi suaminya), maka kini Kang Emil akan memimpin jaraingan regional Asia-Afrika untuk smart city.
Status boleh saja mimpin wilayah kota, tapi dalam hal kepemimpinan, level dunia. Kalau Bung Karno disebut sebagai Bapak Asia-Afrika, bukan tidak mungkin kelak Kang Emil dikenal sebagai Bapak Smart City Asia-Afrika.
Jakarta boleh bangga sebagai ibu kota. Tapi Bandung-lah ibu kota Asia-Afrika. Sudah diresmikan statusnya, salah satunya akan dibuat Asia-Afrika Center di Bandung.
(Sidrotun Naim)
0 Comments